Workaholic adalah fenomena tentang kondisi di mana seseorang, terutama kalangan pekerja, bekerja secara berlebihan atau bisa dikatakan gila kerja. Bekerja dengan maksimal tentu saja bukan sesuatu hal yang buruk, namun berbeda dengan kasus workaholic.
Seseorang yang workaholic akan bekerja secara berlebihan serta ambisius hingga lupa waktu dan istirahat. Segala hal berlebihan tentunya akan memberikan dampak buruk, misalnya bekerja tanpa istirahat akan menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit seperti jantung, vertigo, dan lain-lain.
Bekerja keras berbeda dengan bekerja berlebihan, yang mana orang yang bekerja keras masih ingat untuk beristirahat dan meluangkan waktu untuk kehidupan lainnya selain bekerja.
Sedangkan orang yang bekerja berlebihan atau workaholic cenderung lebih suka mengubur dirinya di tengah lautan pekerjaan. Selain itu, terkadang mereka akan merasa “sakit” jika tidak bekerja, tidak ada yang lebih penting dari pekerjaan.
Hal tersebut tentu sangat bertolak belakang dengan budaya work-life balance yang sedang marak digaungkan di sosial media. Untuk menghindari menjadi seseorang yang workaholic, Anda harus mengenali gejala atau ciri-ciri dan dampak buruk yang ditimbulkan dari fenomena workaholic.
Artikel berikut ini akan membahas tentang tanda-tanda dan dampak negatif ketika seseorang menjadi workaholic. Simak ulasannya berikut ini untuk mengetahui lebih banyak tentang workaholic!
Baca juga: Workforce Management: Pengertian, Manfaat, dan Penggunaan Sistem WFM
Berdasarkan laman American Psychology Association, workaholism adalah suatu kondisi dan situasi yang mana ada seseorang yang merasakan paksaan atau kebutuhan dari dalam dirinya untuk terus-menerus bekerja tanpa bisa dikendalikan. Sederhananya, mereka merasa adanya kecanduan untuk terus-terusan bekerja yang tercipta dalam diri mereka sendiri, bukan karena faktor eksternal lain.
Sedangkan workaholic adalah istilah yang ditujukan untuk mereka yang mempunyai kecanduan untuk terus bekerja atau workaholism. Sebagian besar orang banyak yang menyebut istilah workaholic sebagai orang yang gila kerja.
Terdapat banyak sekali faktor yang membuat seseorang menjadi workaholic, tapi biasanya adalah agar bisa lari dari masalah yang saat itu sedang dihadapi.
Biasanya, mereka akan mengubur diri mereka dalam pekerjaan, sehingga mereka kadang kala lupa bahwa hidup bukan hanya untuk melakukan pekerjaan saja.
Sebagian besar orang juga banyak yang menyamakan workaholic dengan pekerja keras, padahal keduanya memiliki arti yang berbeda.
Salah satu perbedaan antara keduanya adalah perasaan saat bekerja. Seorang pekerja keras umumnya akan menghabiskan banyak waktu untuk bekerja karena memang mereka senang. Sedangkan seorang workaholic lebih cenderung tidak begitu senang dengan pekerjaannya.
Walaupun demikian, para workaholic lebih memilih bekerja karena adanya dorongan dari dalam diri yang seolah-olah memaksa mereka untuk terus melakukan pekerjaan.
Perasaan candu dan kebutuhan untuk terus bekerja yang tidak kenal waktu ini nyatanya bisa berakibat buruk untuk kesehatan mental dan fisik.
Selain itu, workaholic bisa menimbulkan rasa depresi, cemas berlebih, insomnia, penyalahgunaan obat, hingga risiko penyakit jantung.
Baca juga: 12 Jenis Soft Skill yang Perlu Dimiliki Untuk Menunjang Karir Anda
Bagi seorang workaholic, tak ada patokan jam yang pasti dalam bekerja. Walaupun dirinya terikat dalam sebuah perusahaan, bukan berarti seseorang yang workaholic akan sepenuhnya menurut dengan peraturan jam kerja yang ada.
Tidak korupsi jam kerja, sebaliknya justru dirinya gemar menambah porsi pekerjaan. Tak jarang, walaupun sudah di rumah sekalipun, seorang workaholic tetap rajin mengecek tugas-tugasnya.
Hal tersebut baik karena itu pertanda orang tersebut punya rasa tanggung jawab yang besar. Akan tetapi, kebiasaan tersebut juga gak baik bagi dirinya sendiri.
Tentu saja, motivasi utama seseorang bekerja adalah untuk mendapatkan penghasilan. Begitu pula dengan seorang workaholic. Akan tetapi, materi yang berlimpah tidak menjamin orang tersebut akan merasa puas.
Meskipun sudah terhitung mapan, tetapi orang tersebut akan tetap bekerja dengan giat. Maka orang-orang di sekitarnya suka dibuat heran, sebenarnya apa lagi yang seorang workaholic cari. Ibarat harta gak habis tujuh turunan, masih saja bekerja secara berlebihan.
Ciri ketiga adalah, seorang workaholic sering merasa kurang nyaman saat harus bekerja dalam sebuah tim. Karena berpikir orang lain akan kesulitan menyesuaikan diri dengan cara kerjanya.
Di satu sisi dia ingin memimpin di depan, agar segala sesuatunya bisa berjalan sesuai kemauannya. Di samping itu, dia juga gak mau ambil pusing membagi tugas pada rekan kerjanya, kalau semua bisa diselesaikan sendiri.
Memang, orang tipe ini lebih cocok bekerja secara mandiri. Membiarkannya bekerja seorang diri, akan membuatnya lebih tenang dan fokus dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Tidak perlu merasa bersalah, karena melimpahkan segala tugas padanya, sebab itu justru bisa membuatnya senang.
Hampir semua orang di dunia ini pasti menantikan waktu berlibur bersama keluarga atau teman-temannya. Apalagi setelah hampir setiap hari dijejali banyak pekerjaan yang menguras tenaga serta pikiran.
Menikmati liburan bisa membuat badan kembali segar. Namun, bagi seorang workaholic, libur bukan momen yang ditunggu-tunggu. Walaupun sudah sampai di sebuah hotel yang mewah, atau menikmati sunset dari bibir pantai, tetap saja ada yang kurang karena di sana, orang tersebut tidak bisa leluasa bekerja.
Maka tidak heran, alih-alih ketenangan jiwa, orang tersebut akan merasakan keresahan dan terus-menerus memikirkan pekerjaan yang ditinggalkan. Rasanya seperti ingin segera pulang dan kembali bekerja.
Tak jarang, satu pekerjaan saja sudah membuat kita lelah karena seperti tidak ada habisnya. Lain halnya dengan si workaholic ini, baginya satu pekerjaan tidaklah cukup. Sebab seorang workaholic merasa tenaga juga pikirannya masih sangat longgar untuk bisa mengambil pekerjaan lain.
Ketika melihat peluang usaha, atau pekerjaan baru yang bisa dikerjakan bersamaan, seorang workaholic tidak akan ragu mengambilnya. Terkadang orang lelah sendiri melihat dia bekerja. Akan tetapi, seorang workaholic justru merasa nyaman dengan kondisi tersebut.
Baca juga: Indikator Kinerja Karyawan: Pengertian, Tujuan, dan Fungsinya
Dampak buruk utama yang sering dialami seorang workaholic (workaholism) adalah masalah gangguan kesehatan. Tubuh baik fisik maupun pikiran yang diforsir untuk terus bekerja tentu akan membuat kesehatan menurun. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian sebagaimana yang dimuat dalam Harvard Business Review.
Dalam artikel yang ditulis oleh Lieke ten dan Nancy P. Rothbard tersebut dinyatakan bahwa mereka yang mengalami workaholic lebih cenderung mengeluhkan masalah kesehatan fisik seperti sindrom metabolik, sulit tidur, diabetes, penyakit kardiovaskular, dan lain sebagainya.
Selain masalah kesehatan fisik, masalah kesehatan mental juga menjadi ancaman bagi workaholic. Beberapa masalah yang lumrah dijumpai adalah depresi, kesehatan psikosomatik, kelelahan emosional, perasaan sinisme, hingga bisa menyebabkan masalah kesehatan OCD (Obsessive Compulsive Disorder).
OCD merupakan gangguan psikologis yang mempengaruhi pikiran dan perilaku penderitanya. Pengidap penyakit ini akan merasa takut dan khawatir tanpa alasan jelas dan terobsesi akan sesuatu secara berlebihan.
Perilaku kompulsif ini contohnya adalah sering terbangun berkali-kali saat tidur malam untuk memastikan pintu rumah sudah terkunci, mencuci tangan berkali-kali karena takut kotor, menyusun pakaian secara berurutan untuk mengurangi rasa cemas, dan lain sebagainya.
Salah satu ciri seorang workaholic adalah melupakan masalah-masalah lain di luar pekerjaan termasuk untuk berinteraksi sosial. Meskipun bekerja di kantor, mereka akan fokus pada pekerjaannya saja dan membuatnya seolah anti-sosial (meskipun keduanya berbeda).
Tidak hanya di kantor, karena begitu candu pada pekerjaan mereka juga kerap bekerja lembur sehingga interaksi sosial dengan pergaulan sekitar rumah juga menjadi sangat jarang. Pada akhirnya seorang workaholic akan mengalami gangguan pada kepekaan sosial.
Berkaitan dengan poin nomor 2, ketidakpekaan seorang workaholic pada lingkungan sekitarnya juga akan dirasakan oleh keluarganya sendiri. Ketidakhadiran interaksi dengan keluarga membuat anggota keluarga akan merasa kehilangan orang bersangkutan.
Pada akhirnya, pengasingan dari keluargalah yang akan diterima. Hal ini tentu sangat berbahaya karena bagaimana pun kehadiran dan kepedulian keluarga mengambil peranan penting untuk banyak hal di dalam hidup.
Jangan anggap bahwa workaholic bisa lebih hemat atau mendapatkan uang lebih. Perilaku workaholic bukanlah soal etos dan semangat kerja di mana semakin banyak bekerja, semakin banyak uang yang didapat.
Mereka yang mengalami workaholic bekerja hanya untuk kepuasan pribadinya, bukan untuk target atau tujuan tertentu seperti uang lembur atau kenaikan pangkat.
Oleh karena itulah, perilaku workaholic justru bisa membuat seseorang menjadi lebih boros. Kecanduannya pada bekerja membuatnya tidak mau menghabiskan waktu untuk memasak makanan sendiri atau membeli di kantin kantor.
Alhasil, mereka lebih condong untuk delivery makanan dan mengkonsumsi makanan cepat saji. Di lain sisi, dampak bagi kesehatan juga bisa menjadi alasan mereka mengeluarkan uang lebih untuk ke dokter dan membeli obat atau suplemen penambah stamina.
Workaholic tidak menjamin produktivitas kerja. Perilaku ini justru bisa menimbulkan turunnya produktivitas. Hal ini karena kebugaran fisik akan sangat berpengaruh kepada daya kerja, inovasi, ketangkasan, dan kreasi seseorang.
Jika seorang workaholic terlihat bekerja dengan semangat pada satu hari, maka hal itu tak menjamin produktivitasnya karena disadari atau tidak, kemampuan dirinya justru tengah menurun.
Seorang workaholic memang cenderung bersifat perfeksionis. Tetapi sayangnya sifat perfeksionis ini bukan menjadi hal yang baik sebagaimana mestinya melainkan menjadi membahayakan. Gejala perfeksionis seorang workaholic adalah seringkali cenderung tidak rasional.
Mereka juga akan merasa gelisah terus menerus ketika pekerjaannya tidak seperti yang diinginkan. Dampak ini kembali lagi akan berpengaruh pada kesehatan baik fisik maupun mental.
Beban pekerjaan yang banyak tak jarang membuat karyawan harus bekerja overtime bahkan bekerja melebihi porsinya, salah satunya karyawan yang bekerja sebagai HR di perusahaan. Banyaknya pekerjaan yang menjadi tanggung jawab HRD terkadang membuat kewalahan.
Selain memerlukan banyak waktu, tenaga yang dikeluarkan juga tidak sedikit dalam menyelesaikan tugas-tugas seperti menghitung payroll setiap bulan, absensi karyawan, penghitungan pajak, dan lain-lain.
Selain itu, pekerjaan HR perlu selalu diadakan review dan pembaharuan. Sebab, menyangkut SDM di perusahaan, terutama terkait payroll yang terdapat penghitungan pajak di dalamnya cenderung berubah-ubah tergantung peraturan pemerintah.
Dalam upaya membantu meringankan beban kerja dan tanggung jawab departemen HR di perusahaan, aplikasi HRIS GreatDay HR menyediakan fitur-fitur yang praktis dan dapat mempermudah pengelolaan pekerjaan HR. Selain itu, Anda juga dapat menghemat waktu dan biaya dengan menggunakan GreatDay HR.
Pengelolaan data terkait presensi, pengajuan cuti, rekam aktivitas, pelaporan sarana prasarana, hingga penghitungan pajak dapat diakses secara praktis melalui GreatDay HR. Selain itu, seluruh data juga terintegrasi dengan payroll perusahaan.
Segera unduh aplikasinya di AppStore dan PlayStore melalui ponsel pintar Anda, atau kunjungi laman webnya dan jadwalkan demo! Nikmati kemudahan pengelolaan manajemen SDM dan payroll otomatis sekarang juga!
Baca juga: Memahami Pengertian dan Fungsi Ilmu Manajemen Menurut George R. Terry